Split album between RDKPL and HACKD. Experimental audio blast. electronic noisy glitch is taken over by RDKPL beautifully. It combined with no compromise chaotic harsh noise by HACKD. This mixture produce the poisonous combination to your ears. Two tracks from every artist is enough. Play it full blast on your speaker fellas.
Proyek mendadak yang diinisiasi oleh 3 orang aktivis bebunyian dari pesisir utara Jawa Tengah. Andi Meinl, Tri Wahyulianto dan Johanes Handjono, yang masing masing memiliki aktivitas padat , ternyata masih bisa menghasilkan kolaborasi yang asyik, Experimentasi bunyi bunyian berkedok free jazz improvisasional.
Karya ini merupakan hasil dari workshop singkat sebelum akhirnya dipresentasikan pada saat Jogja Noise Bombing Virtual Fest 2022 yang dilangsungkan pada tanggal 25-27 Januari 2022. Latar belakang musikal yang berbeda menjadikan kolaborasi ini jadi menarik.
Andi Meinl pernah menjadi personil band asal Semarang Lipstik Lipsing (dreampop) dan SBDD (free improvisation). Sekarang lebih banyak berkolaborasi dan membuat proyek suara dengan musisi dan seniman Yogyakarta.
BDBH sendiri adalah proyek bebunyian yang dioperasikan oleh Tri Wahyuliyanto. Proyek ini sebenarnya sudah eksis di tahun 2015. Konsep awalnya adalah mencoba memadukan teks-teks jawa kuno seperti Jangka Jayabaya, Serat Centhini dengan musik noise.
Sementara itu Johanes Handjono adalah seorang karyawan swasta kesayangan perusahaan yang diawasi selalu bila berkumpul lebih dari tiga orang. Pernah terlibat sebagai pemain bass elektrik dalam beberapa band seperti Sambarnyawa (Experimental Rock), Maur (Doom Metal), Bimasakti Spaceship (Space Rock), dan Trio Enrio (Free Improv). Saat ini sedang aktif di band bernama Atarashii Natsukashi yang sering rekaman tetapi jarang sekali merilis sesuatu. Free improvisation, free jazz atau apapun itu merupakan proses berkarya yang patut diapresiasi, satu track ini merupakan awal yang asyik. Karena saat ini proyek ini sedang menyiapkan materinya yang lain. Sementara itu dengarkan dan nikmati saja keriangan mereka bertiga bercerita dengan instrumennya.
Album live ini sebenarnya telah mengendap lama, di hard drive yang sampai berdebu. Album ini disubmit di bulan Agustus tahun 2018 tepatnya. Direkam langsung saat Theo Nugraha dan Nissal Lindung (LNDG) berkolaborasi bersama di acara Klub Karya Bulu Tangkis.
Theo Nugraha adalah seorang aktivis suara dari Kalimantan. Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai pameran dan festival baik lokal maupun internasional. Sementara itu juga LNDG, dikenal dengan sebutan Nissal atau Lindung, dikenal di dunia grafiti karena aktif menyelenggarakan berbagai acara, pameran dan festival bersama rekan-rekannya di Gardu House. Beberapa tahun belakangan ini Lindung membuat beberapa karya fotografi tentang anak muda di masyarakat perkotaan.
Album album audio dengan materi “live recording” tidak banyak jumlahnya, Mungkin karena sekarang ini lebih mudah untuk membuat video yang bermaterikan “live gigs“. Menyaksikan aksi sekaligus menikmati audionya. Upload video ke media media sosialpun akan lebih mudah untuk mendapatkan klik. Apalagi sekarang live instagram ataupun youtube bahkan twitch pun sudah sedemikian mudahnya. Kesulitan teknis pastilah ada untuk rekaman model seperti ini. Hal hal menarik seperti spontanitas, error device, gear yang tiba tiba saja ngadat, listrik mati yang mungkin saja terjadi, hasil rekaman yang kasar adalah segala sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Rilisan ini memberikan gambaran bagaimana sebuah album live dibuat dengan teknik yang sederhana. Tancapkan jack audio ke mixer dan sound recorder. Selanjutnya hajar saja, dan jangan lupa arsipkan.
Pernahkah kalian berada di tengah tengah gigs cross over ? Dibuka oleh band pop punk, kemudian dilanjutkan dengan riff gitar menderu band thrash. Lalu masih disusul dentum d-beat dan grind core, yang diakhiri dengan bunyi tuned down gitar band doom ? Mungkin ini analogi yang ngawur, tapi sudahlah. FFFASTR ! ini adalah sebuah kompilasi yang sebenarnya merupakan inisiatif dari Diaz. Punggawa dari band Toxic Society dan juga Galagation. Band band beraliran punk, d-beat sampai thrash melengkapi volume pertama kompilasi ini. FFFASTR ! dibuat dalam waktu singkat, ngebut dengan pedal gas ditekan penuh. Mendengarkan komposisi dalam album ini mungkin tidak setara rasanya dengan mendatangi gigs gigs cross over. Slam dance sampai pogo di moshpit area, yang saat ini hampir mustahil rasanya dilakukan karena badai pandemi yang tak kunjung usai. Minimal dengan album ini, kalian bisa headbang di kamar atau sekedar menganggukkan kepala dengan headset terpasang.
RwaBhineda – Ingsun Lumampah Album ini adalah merupakan karya dari Tri Wahyulianto, yang dulu juga sempat merilis Bedebah, proyek experimentalnya yang lain di netlabel ini. Materi dalam album ini dikerjakannya dengan menggunakan tongue drum. Alasan menggunakan instrumen ini adalah bagian dari usahanya untuk self healing dalam menghadapi benturan-benturan yang ada dalam dirinya. Beberapa rekaman di album ini dilakukan di alam terbuka untuk merespon yang ada disekitarnya. Rekaman tongue drum ini sebenarnya menarik dari sisi materi, Pengerjaan yang dilakukan di alam terbuka, dan menggunakan hand recorder merupakan siasat yang bisa dilakukan karena keterbatasan. Mungkin di masa mendatang, proyek rekaman dengan instrumen tongue drum ini bisa dikerjakan dengan lebih serius baik dari sisi materi dan produksi rekaman untuk hasil akhir yang maksimal.
Split album yang dikerjakan oleh Sorrow dan Suffer. Masing masing dengan style yang berbeda. 2 track awal merupakan karya dari Sorrow. Alunan monolog lo-fi audio yang depresif menusuk membran telinga. Seperti sedang berada di taman bermain anak anak yang telah lama kosong dan dilupakan, sick !. Setelah track berjudul Witch Plague dari Sorrow, telinga dihantam godam dari bebunyian dari 2 track yang dilontarkan oleh Suffer, lugas dan liar.
Split album dari dua proyek harsh noise, Giga Destroyer dan Suffer. Masing masing berkontribusi dengan 2 track. Tanpa basa basi menghajar telinga dengan dentuman distortif nan ngebut. Ornamen yang dinamik dari kebisingan yang menderu deru. Split ini ikut meramaikan kancah noise / experimental yang saat ini sedang naik daun, meskipun didera pandemi. Download, Listen to the Destruction !
Bedebah atau disingkat BDBH, adalah proyek bebunyian yang dioperasikan oleh Tri Wahyuliyanto. Proyek ini sebenarnya sudah eksis di tahun 2015. Perlu waktu bertahun tahun meyakinkan proyek ini untuk akhirnya berani merilis karyanya. Konsep awalnya adalah mencoba memadukan teks-teks jawa kuno seperti Jangka Jayabaya, Serat Centhini dengan musik noise. Menurut Tri Wahyulianto, Bedebah terbentuk karena banyaknya anak muda yang apatis dengan literasi Jawa, walaupun sebenarnya adalah otokritik. Padahal, banyak pelajaran yang tersurat maupun tersirat dari literatur-literatur Jawa ini.
Bunyi yang kasar dan cenderung lo fi dikarenakan dalam proses perekaman materi yang dilakukan secara sederhana, yakni dengan menggunakan mini voice recorder, menjadikan proyek ini menarik, karena dalam pengarsipan bunyi bunyian, bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang terbatas.
17 November 2020 3 way split dari 3 Proyek berbahaya. Coffee Faith, Jeritan dan Kuntari. Masing masing berkontribusi dengan 1 track. Diawali dengan konsistensi Coffee Faith dengan melankolia ambient dari track berjudul Ngenteni Pati yang direkam saat melakukan tour di Kuala Lumpur Malaysia. Kemudian setelah track ini berakhir tiba tiba gendang telinga digempur dengan dentuman harsh noise dari Jeritan yang menyemburkan track berjudul Inferiority dengan menggebu gebu. Ditutup oleh Kuntari dengan track beraroma horor nan glitchy, Neglected menjadi penutup yang mistis, dan seperti akhir film film horor, ada ending yang menggantung. Split yang menarik untuk disimak.
Grunge dan artefak . We Are Grunge adalah sebuah kompilasi yang diinisiasi oleh Mindblasting Netlabel. Kompilasi yang berisikan materi dari band band yang “menyatakan dirinya” sebagai “grunge” yang semuanya berasal dari Indonesia.
Awalnya dirilis dalam bentuk fisik berupa double cassette yang dipacking dalam box kayu berwarna hitam dalam jumlah terbatas.
Materi digitalnya sengaja tidak dirilis dalam waktu yang bersamaan karena secara personal album kompilasi ini adalah artefak berharga yang diuji coba, sejauh mana berharganya arsip di masa datang.
Bulan Juni – Juli 2013 adalah masa masa pengumpulan materi dan dengan proses produksi sampai packaging yang memakan waktu lama. Sampai akhirnya kompilasi ini dirilis pertama kali di bulan September tahun 2014.
Nuraini Juliastuti dari Kunci Cultural Studies menuliskan catatan singkat yang dicetak dalam booklet yang disertakan dalam paket boxset.
Berisikan 27 track yang terbagi dalam double cassette. Akan tetapi dalam rilisan versi digital ada bonus track yang tidak dimasukkan dalam boxset. Merayakan 11 tahun Mindblasting Netlabel, rilisan ini akhirnya bisa dinikmati secara digital.
6 tahun berlalu dan artefak grunge ini minimal bisa menjadi catatan, dan jejak sejarah pergerakan musik grunge di Indonesia.
Terima kasih untuk
Hendra Adytiawan dan kawan kawan Jogja Grunge People
Nuraini Juliastuti (Kunci Cultural Studies)